25 November 2007

Campur Aduk Sistim Pertanian Tradisionil di Dairi

B.Raja-Dairi Pers : Katanya sistim pertanian tradisonil ditunjukkan dengan ciri-ciri komoditi yang ditanam bermacam jenis dalam satu hamparan. Sistim itu membuat perekonomian petani terpuruk karena komoditi yang dihasilkan hanya untuk sebatas kebutuhan sehari-hari. Ini yang terjadi disebahagian besar lahan pertanian masyarakat di Dairi. Bayangkan dalam satu lahan yang tak berapa luas ditemukan 7 macam tanaman.
Pantauan Dairi Pers di beberapa lahan pertanian masyarakat di kec. Siempat Nempu sistim pertanian tradisional ini masih banyak terlihat. Di Bunturaja misalnya dalam satu lahan pemiliknya menanam durian, ubi kayu, kacang, pisang, petai, jengkol dan kopi. Tanaman tersebut dibuat bersusun dan disela-sela tanaman yang lebih besar. Ekploitasi tanah semakin tinggi karena tak sejengkal lahanpun disisinya yang dibiarkan terbuka.
Aksesnya pada petani ,sistim itu tidak memberikan hasil maskimal yang ekonomis. Namun hasil panennya hanya digunakan pemiliknya untuk kebutuhan sehari-hari yakni untuk dimasak didapur saja. Namun sistim ini masih dianut bayak warga karena lahan yang dimiliki juga tak seberapa luas.
Ama Chales Manurung salah seorang petani di Bunturaja mengatakan dengan sistim itu mereka lebih tertolong karena menunuggu kopi besar dapat menggunakan ubi kayu sebagai bahan makanan. Demikian juga kacang nantinya dapat dipanen untuk kebutuhan kacang tahun baru. Sayur buncis dapat dipergunakan di dapur. Saat dipertanyakan berapa penghasilan mereka dari penjualan kacang atau ubi. Ayah 5 orang anak ini mengatakan tak pernah menjualnya ke pasar. Ubi haya dinikmati sendiri bersama kelaurga. Namun menurutnya untuk membeli beras maupun lauk biasanya mereka menjual panen buah kopi.
Menyinggung jika lahan itu digunakan untuk satu jenis tanaman saja Manurung mengatakan rugi karena jika satu jenis saja tak bisa membantu dapur mereka. Lahannya ha-nya sekitar setengah hektar bekas warisan dari orang tuanya. Menyinggung luas lalahn itu dengan kebutuhan keluarganya Manurung mengatakan sudah pasti tidak memadai. Syukur jika musim durian tiba ada pemasukan yang lumayan, katanya.
Sementara itu jumlah warga yang hidup sebagai petani di daerah ini mencapai 98 %. Umumnya mereka menggeluti petanian serupa. Pendidikan anak-anak mereka juga umumnya paling tinggi tamat SLTA. Hanya beberapa keluarga saja yang mampu memberikan pendidikan anaknya hingga perguruan tinggi. Luas lahan serta sistim pertanian yang campur aduk membuat petani daerah ini tak mampu berproduksi secara ekonomis. Untuk mencari lahan baru semacam ekstensifikasi menurut warga ini sangat sulit karena semua lahan sudah ada yang punya. Mereka paling menggarap lahan baru dengan sistim sewa tanah. Namun yang mau meniru cara pertanian seperti itu hanya beberapa keluarga saja. (R.07)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar