12 Maret 2009

KOPI LUWAK Liputan Vanity Fair : MAKIN DIMINUM MAKIN SEGAR


Berikut adalah terjemahan dari tulisan asli pada Majalah Vanity Fair
VANITY macchiat o
Dagli escrementi dei luwak (a destra, un esemplare) a Sumatra viene tratto un prezioso caffè. Sotto, le donne che raccolgono la materia prima.

Berasal dari tai musang tapi nikmat? Hewan Luwak atau musang yang hidup di Sumatra telah menghasilkan kopi paling mahal di seluruh dunia.
oleh Imma Vitelli, foto Ben Bohane
Vanity Fair Edisi Italia Bulan Oktober 2008 memuat KOPI LUWAK SIDIKALANG
Pengantar: Kopi Luwak Sumatera dari Sidikalang adalah produk unggulan yang pantas dibanggakan, apalagi setelah dimuat di Vanity Fair tsb diatas. Berikut adalah saduran reportase oleh Imma Vitelli. Kami berterimakasih kepada Pastor Ben OFMCap, Biara Kapusin Helvetia, yg telah membantu menerjemahkan naskah asli dari Bahasa Italia.
Seorang sahabat dari Australia bercerita bahwa kopi dari tai musang dibelinya di Sidney dengan harga U$ 50 per gelas. Kopi ini sangat jarang karena hanya sekitar 500 kg/tahun. Sore panas di sopo, dengan rasa enak kopi, ditambah rasa cokelat, padahal dari tai musang, bukankah itu menarik? Kalau ingat bahwa kopi tsb telah melalui perut musang siapa yang mau. Tetapi jangan berhenti dulu.

Photo Cover. Para Petani Pengumpul Kopi Luwak Sedang Menikmati Kopi Luwak tsb di Kediaman N. Gultom di Sindoro, Desa Barisan Nauli, Kec. Sumbul, Kab. Dairi (foto oleh Ben Bohane, Vanity Fair)
Ini adalah keajaiban alam: Luwak hanya memakan kopi terbaik dari jenis Kopi Arabika Sumatera. Kopi hanya kehilangan lendir buahnya, kulit biji tidak terganggu sama sekali pada saat biji dikeluarkan melalui feses. Kopi tsb telah dipengaruhi oleh enzim pencernaan musang sehingga lebih harum dan memiliki cita rasa yang lebih enak.
Kopi luwak tsb dikumpulkan ibu-ibu dari tengah hutan yang berdampingan dengan kebun kopinya. Ibu-ibu tsb mengumpulkannya seperti para perempuan (di Eropa) mengumpulkan kotoran anjingnya (di Eropa adalah tanggung jawab pemilik anjing untuk mengumpulkan dan membuang kotoran anjingnya).
Kopi luwak yang diagungkan oleh cafe-cafe yang mahal di seluruh dunia dan dimuat di Majalah Forbes, dan ditayangkan di acara talk show Oprah, dan ditawarkan melalui eBay melalui coffee shop di New York, Hong Kong, Vancouver, London, juga di Milan.
Demikian cerita yang menantang kami, lalu kami menghubungi Sdr. Eko Maryadi, untuk membantu liputan tsb. Hal ini kami lakukan karena banyak orang merahasiakan hal kopi luwak sehingga kami semakin penasaran. Akhirnya suatu hari Eko Maryadi menghubungi John M. Sianturi untuk reportase kami.
Hari panas ketika kami tiba di Medan, Sumatera Utara. Tempat ini indah, masih memiliki hutan, gunung yang masih aktif, dan di kiri kanan jalan yang kami lalui ke tempat tujuan ada sedemikian banyak perkebunan kakao, vanili, dan tanaman cengkeh.
Kami tiba di Sidikalang yang merupakan daerah kopi. Kopi tsb tidak terlalu tinggi hanya setinggi orang. Kami berhenti di pekan Sumbul, menyaksikan rumah dari kayu, petani yang menjual kopi arabika Sidikalang. Mereka jual beli kopi arabika akan tetapi tidak ada yang menjual kopi luwak.
Untuk penduduk Kab. Dairi luwak adalah musuh karena menjadi hama buah-buahan, ayam, dan memakani buah kopi. Kesan kami luwak adalah hewan yang tidak baik.
Kami berjumpa dengan John M. Sianturi yang ramah dan memberikan kartu namanya yang indah karena dirancang dengan baik. John cerita bahwa sewaktu kecil hingga bekerja di Lab. Vertebrata sering melakukan pemerangkapan musang karena gangguan hewan ini pada pertanian.
Apa yang membuat kami terpesona adalah John M. Sianturi bagaikan Robin Hood dari Sumatera karena merupakan orang pertama di dunia yang menjual kopi luwak tsb ke negara-negara maju dan mendampingi petani. Dia mampu mengekspor kopi tai hewan tsb dengan harga yang tinggi. Hal ini dilakukannya setelah melihat acara Oprah di Internet, lalu berseru: ”kenapa saya tidak melakukannya?”

Ir. John M. Sianturi, Dipl.Agr. di tengah Kebun Kopi Sindoro, Desa Barisan Nauli, Kec. Sumbul, Kab. Dairi (foto oleh Ben Bohane, Vanity Fair)
John ini menamatkan Sarjana Pertanian di IPB lalu mendalami Manajemen hama perkebunan, juga di IPB, selama 3 tahun setelah itu. Dia memiliki latar belakang ilmu yang cukup lengkap tentang musang.
Ini memang pekerjaan sulit untuk dia karena harus menyakinkan petani kopi bahwa tai musang berharga menjadi kopi luwak. Musang dari lawan menjadi kawannya. Pencernaan luwak baik untuk mutu kopi, musang perlu dilindungi di sekitar hutan Lae Pondom. Hal ini karena masih ada lebih dari 600 musang di hutan tsb.
Sindoro
Kami tiba di sekitar hutan yang berdampingan dengan kebun kopi. Kami menyaksikan hujan yang sangat lebat, pakaian yang di jemuran pun tak sempat diambil hingga menjadi basah semua.
Nelson Gultom dan isterinya br. Sianturi yang adalah pengurus kelompok tani menyambut kami dengan ucapan selamat datang. Ada sekitar 10 ibu-ibu yang ada di tempat tsb. Bagi kami semula melihat mereka seperti vampir karena mereka memakai sarung di cuaca yang dingin dan mulut mereka merah seperti darah. Ini karena mereka makan sirih.
Para ibu-ibu tsb adalah petani miskin, hidup mereka berat; daun sirih menjadi sahabat. Dari 250 orang petani di daerah tsb ada sekitar 20 orang yang dengan suka rela menjadi pengumpul kopi luwak yang terlatih.
Gultom dengan semangat menjelaskan bahwa kopi luwak tsb dahulu tidak dihargai. Sering hanya dicampur dengan kopi biasa. Dengan kegiatan oleh John M. Sianturi maka kopi luwak tsb memiliki harga mahal. Kami menyaksikan tai luwak yang masih segar, butir kopi yang putih bercampur dengan biji-bijian hitam dalam kantong plastik yang dibawa petani. Pak Gultom lalu mengambil tai luwak tsb satu sendok lalu menaruhnya dibawah hidungku, dan baunya hanya seperti tanah lembek.
John menjelaskan bahwa bau kotoran yang umum dipengaruhi oleh bakteri Coli. Pada usus musang tidak ada bakteri Coli tsb sehingga tai musang tidak bau.
Ibu-ibu lalu membuat lipatan daun sirih baru. Ibu Silalahi yang duduk di sampingku bercerita bahwa dia baru mulai satu minggu ini menjadi pengumpul kopi luwak. Dulu dia tidak mau karena telah memiliki penghasilan Rp. 400-900 ribu/bulan dari hasil kopinya. Dia mampu menyetor sekitar 12 kg kopi luwak segar per minggu. Dan hal tsb sudah membantu menambah penghasilan keluarganya.
Menikmati kopi luwak
Kemudian tiba waktunya, isteri Pak Gultom membawa air panas dan kopi yang sudah digiling. Dia menuangkan air panas pada kopi bubuk dalam gelas. Saat untuk meminum pun tiba. Karena disodorkan, akhirnya saya minum juga. Kopi yang sangat bagus dengan sedikit rasa cokelat yang alami. Enak sekali. Kami meminumnya bersama-sama para ibu tsb.
Saya lihat sekeliling, melihat reaksi ibu-ibu tsb. Saya melihat mereka dalam kemiskinannya yang membuat para orang kaya heran. Mereka mengaku bahkan baru kali ini menikmati kopi yang sangat enak tsb. Selama ini mereka belum pernah mencobanya. Sementara orang-orang kaya di negara maju sudah menikmati kopi luwak tsb di cafe-cafe mewah dengan harga yang sangat mahal.
Pendapat Sdr. John M. Sianturi setelah reportase tsb adalah kekuatiran pemalsuan. Orang tergiur dengan harga mahal, lalu nama produk unggulan tsb menjadi cacat bahkan hancur. Dia mengatakan: ”Saya melakukannya dengan tulus. Pedaganglah yang sering menghancurkan komoditi unggulan Dairi. Uang bukan segala-galanya!” Ada ucapan dia yang menyentuh hati: ”Belum cukupkah nama nilam, vanili, dan kopi sidikalang hancur? Jangan hancurkan lagi nama Kopi Luwak Sidikalang yang dengan susah payah kami bangun!”