07 Oktober 2007

Yang Miring: "Thermo"

Kedua orang tua penulis tidak berpendidikan tinggi. Maklum, mereka lahir tahun 1940-an. Namun frekuensi membaca boleh dikatakan keduanya justru lebih rajin dari mahasiswa yang sekrang. Ayah saya yang lebih rendah pendidikannya – tidak tamat SR sedangkan ibu tamat SKP – lebih rajin membaca. Mereka memang bekerja sebagai petani.
Ayahku yang berangkat ke ladang atau sawah selalu terlambat sering menggunakan istilah ilmiah yang komunitas ilmiah saja tidak gunakan yakani kata: Thermo, menermo, dithermo. Dia mengatakan pekerjaan orang pintar selalu dithermo terlebih dahulu. Dari segala sudut. Itu sebabnya dia tidak pernah mau mempercayakan membajak sawah kepada penulis, karena menurutnya tidak tahu menermo kemampuan kerbau.
Suatu kali dia menyuruh saya membajak sawah. Yang dikerjakannya satu minggu saya selesaikan satu hari hingga pukul 12 lewat. Ketika saya sudah membawa semua peralatan kembali ke rumah dia menanya kenapa, saya bilang sudah selesai. Ah, kau memang tidak punya ‘ilmu antan’. Maksudnya ya thermo. Utuk apa selesai sekarangtetapi tahun depan kerbau itu sudah sakit, ujarnya.
Kebiasaannya harus tidur siang, walaupun sedang bekerja di areal sawah yang berlumpur dia pergi entah ke mana mencari tempat tidur, walaupun untuk sebentar saja. Kalau ibuku merepet dan mencontohkan suami orang bekerja saat hujan turun memperlebar sawah (mamburburi) dia akan menjawab dengan enteng, ‘lihatlah tidak lama lagi dia itu sudah mati.’
Bahkan untuk menghukum anak-anaknya ayah saya sepertinya berpedoman pada teori Sokrates yang menganjurkan kemarahan yang terukur. Sokrates mengatakan,’la;au marah gampang saja, tetapi marah dengan sasaran, waktu, alat, tempat dan porsi yang tepat, itulah yang perlu setiap orangharus menjadi melek. Kemarahan ayah saya juga selalu terlebih dahulu dithermo.
Hingga hari ini ayah saya masih segar bukar karena semua kegiatan dalam hidupnya melalui uji thermo. Menggunakan ‘ilmu antan’. Yang aneh, kacang (tanah) sawah kami selalu diejek oranag lain karena tanahnya tidak pernah lumat sebelum ditanami. Ternyata kondisi itu sangat menolong tanaman ketika berunga pada musim kemarau.
Saat ini banyak orang kurang melek mengukur kegiatan yang dilakukannya. Pekerjaan yang terukur dan tidak terukur. Seharusnya pekerjaan di zaman sekarang harus terukur. Bahkan rapat sialabane seharusnya bisa ditentukan mulai jam sekian dan berakhir jam sekian. Kenyataannya apa? Ternyata kurang meghargai sumber daya waktu. Belum terkecuali satu orang pun, semua belum mampu mengukur waktu dan mensinkronkannya dengan kebutuhan kemajuan. Bahkan pengejaran terhadap masa depan juga tidak terukur sehingga banyak yang mengabaikan keperluan masa sekarang karena mengejar masa depan yang lebih baik.*editor-in-chief.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar