Universitas Terbuka (UT) ternyata pro aborsi. Buktinya, perguruan tinggi negeri itu memiliki Fakultas Keguguran dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Fakultas yang berhubungan dengan keguguran tersebut masih yang pertama di Indonesia. Suatu kepeloporan yang sangat berani. Demikian informasi yang bisa diperoleh masyarakat dari brosur UT yang dibagikan secara cuma-cuma di pameran pembangunan di Stadion Sidikalang.
Penulis juga memperoleh brosur tersebut. Penulis tidak kaget. Hanya berdecak kagum karena keberanian UT membuka jurusan khusus itu. Penulis mereka-reka apa gerangan yang menjadi target FKIP tersebut. Kemungkinan, fakultas itu dibuka mengingat pola pergaulan saat ini yang semakin luwes sehingga perlu suatu institusi untuk mengurusi masalah pengguguran. Mungkin keguguran tidak selalu berhubungan dengan kehamilan yang illegal. Boleh jadi berarti pengguguran proyek yang sudah ditenderkan tetapi kemudian dinyatakan di-abort.
Di dunia komputer, kata abort atau aborsi bukan sesuatu yang memalukan atau taboo. Dalam dunia rasa yang tabu adalah yang taboo, demikian sebaliknya. Konon, ada yang melakukan survey menggunakan polling bahwa di berbagai daerah yang dinobatkan sebagai kota pendidikan atau kota pelajar di mana banyak pelajar dan mahasiswa yang tinggal jauh dari keluarga menjadi cikal bakal pergaulan bebas. Sebagian memang ada yang bertanggung jawab, namun sebagian terpaksa mencari dukun atau bidan untuk melakukan pengguguran. Itulah mungkin yang menjadi keprihatinan UT sehingga membuka fakultas keguguran yang dipadukan dengan ilmu pendidikan.
Pembaca yang budiman, substansi tulisan ini adalah keteledoran sektor informasi kita. Bangsa ini mengagung-agungkan pernyataan bahwa yang ketinggalan informasi akan ketinggalan segala-galanya. Ada pengertian seolah-olah segalanya bisa diperoleh dengan cara berebutan tanpa antri sebagaimana berebut buah mangga yang baru saja jatuh dari pohon. Kita jarang mempersoalkan bagaimana kalau informasi itu salah.
Pesatnya perkembangan dunia informasi seyogianya membuat orang cepat pintar. Namun saat ini masyarakat dicekoki dengan informasi yang tidak terpercaya. Apakah karena penerbitan yang asal ada, apakah penerbitan yang mengutamakan sentimen dapur, atau karena salah ketik. Kurang pasti diketahui berapa seharusnya gaji seorang juru ketik supaya bisa mengetik dengan benar dan cermat.
Kejadian salah informasi karena salah ketik bukan hanya terjadi pada brosur UT. Koran dan berita yang diproduksi orang-orang berlagak wartawan juga banyak seperti itu. Termasuk penulis sendiri, masih seperti itu. Yang harus dicela adalah; sudah salah ketik berlagak pula. Kalauyang bersangkutan rendah hati bolehlah dimaklumi. Bayangkan kalau pariwisata Sumatra Utara bisa sangat populer ke manca negara hanya karena berita yang salah ketik yang seharusnya ‘Danau Toba’ menjadi ‘Danau Obat’. Kalau bernuansa positif lumayan. Bagaimana kalau bernuansa negatif. Bagaimana misalnya kalau sebenarnya kalau kalimat ‘penampilannya parlente’ menjdi ‘penampilannya parlonte’. Hanya karena salah ketik.
Di Indonesia tidak akan ada yang mengeluhkan kesalahan seperti itu. Tetapi di negara maju, Rektor UT pasti tidak bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau gubernur karena ada unjuk rasa menyatakannya pro aborsi karena mendirikan fakultas keguguran. Di tengah masyarakat kita hal itu tidak akan menjadi isu yang penting karena semua saling memaklumi. Yah….mumpung kita belum tegak untuk maju. Okelah, selagi masih miring.**L.Sinaga
13 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar