Sidikalang-Dairi Pers : Pesta tanpa uang adalah bohong. Terlebih jika itu pesta demokrasi. Untuk Pilpres misalnya APBN menargetkan triliunan rupiah. Juga untuk Pilkada Dairi akan menyerap dana hingga milliaran rupiah. Saat dana itu ada maka KPU bergerak. Namun untuk Pilkades Dairi yang dananya hanya dibawah puluhan juta rupiah itu harus dilakukan kendati tanpa dana yang belum cair. Pilkades Dari yang berlangsung tahun 2007 ini agaknya menjadi ujian bagi camat se Dairi. Bayangkan tanpa dana harus melakuan pilkades. Diperkirakan lebih separuh kepala desa di Dairi tahun ini mengadakan pemilihan. Hingga awal Nopember 2007 dana untuk pesta demokrasi desa ini tak kunjung cair. Ini saatnya camat “mengigit gigi “ atau “pelotot mata” dan mungkin hingga buka rekening berhutang. Semua ini dilakukan agar camat jangan disebut tak berhasil. Pertayaannya cukup sederhana haruskah sejauh itu pengorbanan seorang camat. Mungkinkah P2KD mau berkorban sedemikian berani jika tidak ada kepentingan didalamnya. Ini adalah demokrasi desa di Dairi tahun 2007 yang tercipta justru karena kondisi yang serba tak pasti semua perangkat dari staf pemkab serta bagian keuangan pemkab Dairi.
Beberapa camat di Dairi awalnya menolak pelaksanaan pilkades. Alasannya sangat masuk akal karena demokrasi tak mungkin jalan jika dana pilkades harus ditanggung calon kepdes. Kecuali kepdes yang bersangkutan calon tunggal. Atau mungkin calon kepdes sudah memastikan bakalan menang hingga rela mendahulukan biaya untuk pesta demokrasi itu. Memang sebelumnya dana pilkades juga ditangung calon kades. Semuanya berjalan lancar dan tanpa masalah. Namun yang menjadi pantas dipertanyakan mengapa dana untuk pilkdes itu ditampung dalam APBD tetapi tidak dicairkan? Terus apa nama demokrasi yang diberikan jika memang dana untuk pesta itu justru bersumber dari berhutang? Apakah desa juga sudah meniru budaya bangsa yang meminjam untuk pemilu?
Kondisi pilkades Dairi tentu tak dapat ditunda lagi. Meski faktor pendukung dana belum juga turun namun demokrasi politik desa harus berjalan. Setuju atau tidak ini saatnya desa dan camat diuji dengan kemampuan. Ujian itu semakin tampak ketika beberapa camat di Dairi juga curi start melaksnakan pilkades kendati dana tidak turun. Hasilnya memang berhasil bahkan tanpa cela. Ini suatu fakta keberhasilan. Namun apa sebenarnya peran pemkab Dairi dalam mendewasakan politik warga desa ?
Namun mengapa masalah uang untuk pilkades ini tak juga turun. Sementara dana yang lain pada instansi bisa lancar-lancar saja. Hingga kini memang disebut faktor birokrasi pencairan uang yang telah berbeda dengan tahun sebelumnya. Tentu menjadi fakta peraturan keuangan itu dilakukan negara untuk efisensi dan menghindari korupsi. Artinya sejauh wajar dan bebas korupsi tentu tak menjadi masalah. Disini letak permasalahan terlambatnya kucuran dana untuk pilkades. Entah apanya yang terlambat namun tentu kelemahannya berada pada desa, bagian Pemdes setda Dairi dan BPKD. Sulit memang untuk memastikan dimana masalah utamanya. Semua bersembunyi dibalik sulitnya birokrasi pencairan uang.
Camat Siempat Nempu Hulu Drs. Syarifuddin Sagala bersama Camat Silima Pungga Pungga Drs.Leonardus Sihotang menyebutkan perlu ditinjau kembali dasar pelaksanaan pilkades itu. Jika dana untuk pesta demokrasi itu tak jelas bagaimana mungkin pelaksanaan pilkades jelas. Artinya ada kesempatan pihak yang kalah menyerang jika mengerti perundang-undangan yang berlaku atas sebuah pilkades.
Bahkan camat Parbuluan Drs. Rewin Silaban menyebut-kan mana mungkin dia yang jadi berhutang karena sebuah pesta di desa. Menurutnya ber-sabar menunggu dana jauh lebih arif dan mendidik ketimbang camat dibebankan deng-an berhutang atau menyuruh P2KD desa berhutang.
Namun tak semua camat dilingkungan pemkab Dairi menganut kesepahaman ini. Banyak diantaranya yang justru langsung melaksanakan pilkades meski dengan bermodalkan hutang. Protes kendati dalam batas adu argument yang dilakukan beberapa camat juga tak membawa hasil. Pilkdes tetap dilakukan dan hasilnya juga sudah terlihat.
Berhutang
Tak cairnya dana untuk pilkades ternyata membawa sejumlah camat di Dairi harus memutar otak dengan berhutang. Sebahagian lagi terpaksa melakukan “pelotot mata” kepada P2KD agar panitia saja yang mengusahakan dana untuk pelaksanaan Pilkades itu. Tentu jika demikkian yang terjadi P2KD akan memaksa para calon untuk mendahulukan dana tersebut. Permasalahan yang timbul justru hutang piutang salalu terkait dengan jasa. Jika jasa bunga diberlakukan berarti ketidak beresan keuangan pemkab Dairi justru semakinn menguntungkan kepada rentenir. Bayang jika satu camat harus mencari uang hingga Rp. 40 juta untuk pelaksanaan pilkades. Apakah ini yang disebut pengorbanan? atau apakah ini sebuah ujian.
Apakah semua camat mam-pu melaksnaakan itu ? tentu tidak namun ini justru dirasakan sebagai suatu ujian kepada camat. Disisi lain semua camat harus bersaing dan terlibat gengsi tak melaksanakan pilkades kendati harus berhutang. Tidak diketahui pasti penyebab utamanya namun pilkades tahun ini di Dairi sebagai suatu pelajaran jelek yang diharapkan tidak terulang lagi dengan alasan apapun. (R.07)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar