Ada banyak nama singkatan yang berhubungan dengan pendidikan tnggi di Indonesia. Umumnya menggunakan ST yang berarti sekolah tinggi. Antara lain STIE yakni sekolah tinggi ilmu ekonomi, STT, sekolah tinggi teologi, STAIS, sekolah tinggi agama Islam. Ada STIS, sekolah tinggi statistik, STAN, sekolah tinggi akuntansi Negara, STIP, sekolah tinggi ilmu pertanahan, STIH, sekolah tinggi ilmu hukum. Semua berpaut dengan perguruan tinggi. STIA juga berhubungan dengan peguuan tinggi.
Istilah STIA muncul disebabkan hilangnya idealisme di kalangan pengelola perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta yang mungkin proses hidup institusi itu reot seperti roda pedati yang tidak menggunakan kolahir. Sering tersendat sementaa pengelolanya menginginkan poses hidup yang lancer seperti pengelola institusi yang lancar. Keinginan untuk hidup lancar di tengah kenytaan yang macet merupakan penyebab hilangnya ideaisme di bidang sekolah tinggi.
Kondisi itu menjadi neraka di dunia pendidikan, tetapi menjadi sorga idaman para penjahat pendidikan. Jual beli ijazah menjadi hal yang lumrah saat ini. Konsumen juga kehilangan idealisme. Mereka mengatakan ‘berapalah ijazah sajana, paling mahal Rp4,5 juta!’ Pernyataan seperti itu dari orang-orang berduit sering menciutkan semangat juang generasi muda untuk membenahi kualitas pendidikannya.
Yang paling menghancurkan semangat orang-orang yang berjiwa sekolah bahwa instansi kerja, baik swasta maupun negeri ternyata tidak pernah mempersoalkan ijazah yang disodorkan untu penyesuaian. Padahal para atasan itu tahu yang bersangkutan rajin bekerja setiap hari. Artinya, tidak pernah sekolah atau sedikitnya mereka hanya mengikuti kuliah semester yang dipadatkan.
Yang sering membuat kesal adalah ternyata ijazah tanpa sekolah lebih mudah untuk penyesuaian daripada ijazah benaan. Yah, karena pemilik ijazah benaran mempertahankan idealisme dan mengabaikan pragmatisme. Pertanyaan, siapakah yang lebih pintar dari kedua jenis manusia itu, yang idealis atau yang pragmatis?
Bagaimana pula kalau kalangan pendidik menganut pakmatisme, yang tidak memperdulikan bagaimana proses memperoleh ijazahnya. Ada banyak kalangan pendidik yang meninggalkan institusi pendidikan tinggi yang poses kelulusannya sulit dan mencari jalan pintas yakni langkah pragmatis. Percaya atau tidak saat ini banyak guru jurusan ‘life skill’ yang ijazah terakhirnya menjadi jurusan civic.
Di dunia sedang berkembang gelar sangat menentukan harga diri. Dan entah kenapa harga diri semu itu sangat dibutuhkan padahal tidakn menambah volume uang atau beras. Banyak orang yang protes kalau namanya ditulis tanpa gelar. Bahkan ketka ada pertanyaan ’siapa namamu? Dijawab dengan lengkap bersama gelar. Padahal gelar itu bukan nama.
Badge (papan nama) gelar yang yang tidak sulit diperoleh biasanya lebih bonafid. Mereke mau menunjukkan bahwa mereka juga sarjana. Kesarjanaan mereke memang hanya bisa diperkenalkan lewat badge. Sedangkan kesarjaan yang sulit didapatkan akan terlihat dari perubahan mentalitas akibat godokan utin proses pendidikan untuk memperoleh ijazah itu. Low profile dan cara berpiki dan bertingkat laku yang bernas lebih tajam dibandingkan badgeuntuk menunjukkan intelektualitas seseorang. Banyak kualtas yang tidak bisa ditiru untuk menunjukkan seseorang punya ijazah yang benar atau tidak. Orang yang “sekolah tdak ijazah ada’ akan sering memunculkan kualitas rendah seperti ijazahnya. Ini adalah catatan mring yang peluditegakkan.*L.Sinaga
03 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar