Demokrasi sangat baik. Demokrasi merupakan tuntutan banyak orang yang ingin terlibat dalam tata negara. Ada keinginan suatu saat warga yang memilih seseorang merasa berhak terlibat juga dalam pemerintahan yang dipilihnya. Sedikitnya untuk ingin tahu saja.
Demokrasi yang diizinkan di Indonesia sejak lama masih Pemilu legislatif dan pemilihan kepala desa. Ada dua alasan membatasi gerakan demokrasi dimaksud, yakni bahwa demokrasi yang kita anut adalah Demokrasi Pancasila. Kedua, bahwa masyarakat Indonesia belum mampu berdemokrasi. Selain itu, presiden, gubernur, bupati dan walikota dipilih oleh segelintir orang yang menyatakan diri mewakili ribuan rakyat.
Saat ini pemerintah membuka kran demokrasi secara luas. Hasilnya mengasyikkan. Ternyata kita semua kemudian merasa bertanggung jawab atas kepemimpinan SBY-JK. Sejelek apapaun kebijakannya, banyak orang yang mencari dalil pembenaran terhadap kebijakan itu. Kenapa bisa seperti itu, ya…karena kita yang membuat menang. Untuk tingkat daerah terjadi kegamangan.
Tetapi demokrasi tidak boleh dipandang hanya dari sisi asyiknya saja. Ada potensi konflik yang besar di dalamnya. Kalau pendukung yang kalah memang mau menerima kekalahan, itu baik. Tetapi ada banyak orang yang berotak teroris yang tidak mau menerima pihak lain dalam pikirannya. Akibatnya, mereka melakukan politik pembusukan sepanjang periode kepemimpinan dimaksud.
Dalam demokrasi langsung untuk memilih gubernur, bupati dan walikota, belum ada apa-apa tetapi potensi konflik sudah sangat nyata. Terlihat pertandingan massa dalam pesta-pesta, terutama massa marga. Sepintas memang positif karena akhirnya orang bersemangat datang ke pesta untuk memberikan dorongan kepada kelompok marganya, apalagi dalam pesta itu yang terlibat adalah marga dari dua kandidat.
Seandainya kualitas SDM warga sangat rendah maka pada tahapan berikut dari semangat dukung-mendukung itu adalah saling mengejek. Tahapan berikut adalah saling menjambak. Banyak orang yang menyatakan secara ngotot bahwa kadidat yang didukungnya yang akan menang. Sering timbul perdebatan, bahkan percekcokan antara warga di kedai tuak akibat pernyataan dukungan dimaksud. Apalagi mereka sudah mulai mabuk. Pembicaraan kemudian melebar pada masalah lain. Hasilnya, ada yang kemudian mengakhiri persahabatan dan bahkan ada yang sampai bertikai. Padahal para kandidat mereka belum mendaftar dan masa pendaftaran juga belum dibuka,
Potensi konflik demokrasi langsung adalah kematian mantan PM Pakistan Benazir Bhutto 27 Desember 2007 lalu. Konflik itu juga sangat nyata dalam pemilihan ribuan kepala desa di Indonesia. Hampir semua pemilihan kepala desa menyisakan konflik yang berkepanjangan. Malah banyak yang tidak terselesaikan hingga masa jabatan berakhir.
Hal itu memang disebabkan ketidakmelekan penduduk. Ambisi untuk memenangkan pemilihan kepala desa sudah dianggap sebagai bentuk harga diri massal. Menjadi kebiasaan, yang kalah selalu mengklaim terjadi kecurangan. Namun, mengapa mereka tidak melakukan protes sebelum pemilihan dimulai? Karena mereka menganggap kemungkinan itu tidak apa-apa, ada anggapan merekalah yang akan menang. Semua merasa akan menang, padahal adalah eksakta bahwa hanya satu yang akan menang. Di samping itu ada orang-orang tertentu yang berkemampuan membuat kalah atau menang; camat misalnya.*L.Sinaga
10 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar